BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada
abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis
dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang
pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid
pertama di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai
peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari keturunan syeikh
ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian
bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak
menganut syiah. Walisongo
adalah sebuah majelis dakwah yang didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), pada
tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Arti lain walisongo dalam Bahasa Jawa songo berasal dari kata sanga yang artinya sembilan, jadi bisa
diartikan walisongo adalah jumlah wali yang ada sembilan, sedangkan dalam Bahasa Arab songo atau sanga berasal dari kata tsana yang artinya mulia dan bisa diartikan
sebagai wali yang mulia. Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan digantikan dengan kebudayaan Islam di Indonesia. Walisongo merupakan simbol
penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Banya tokoh-tokoh
selain para walisongo yang membantu dalam membangun Islam di tanah Jawa ini,
namun para walisongo yang paling berperan besar dalam membangun kerajaan Islam
ditanah Jawa ini.
Penyebaran
agama Islam
di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut
merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan
penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan
sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para
wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan
lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan
orang. Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku
kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunung Jati.
1.2 Rumusan masalah
1.bagaimana kehidupan yang di miliki sunan
muria?
2.
Bagaimana pengajaran agama yang disebarkan oleh sunan muria?
1.3 Tujuan
1.mendiskripsikan kehidupan yang di miliki sunan muria.
2.
mendiskripsikan pengajaran agama yang disebarkan oleh sunan muria.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 kehidupan yang dilakukan oleh
sunan Muria
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi
Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau
menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya.
Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya
di sebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut
dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan
kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan
beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya
dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Jarak
antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan
Muria tidak kurang dari 750 m. Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau
dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama
Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut
serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang
kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki
kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Sunan Muria adalah tokoh agama yang
amat bersahaja. Dia tidak berkaitan dengan hal-hal politik atau
popularitas yang memungkinkan kisahnya
lebih banyak tertulis dalam sejarah. Sebagai wali, sunan muria lebih banyak
membenamkan dirinya dalam kehidupan rakyat kecil, yang miskin dan golongan
marhaen. Para muridnya kebanyakan dari kalangan para petani,pedagang, dan
nelayan kecil. Dia berbaur dan menyelami setiap sisi terdalam kehidupan
masyarakat. Langkahnya yang sederhana ini telah membawanya menciptakan tembang
sinom dan kinanti. Satu tindakan lain yang membuktikan sunan Muria menyusup
dalam lubuk hati rakyat adalah tidak dilarangnya tradisi melakukan kenduri
setelah kematian seseorang yang dikenal denga tradisi hindu-jawa. Namun
walaupun begitu menurut catatan sejarah, ia tetap melarang tradisi-tradisi yang
mutlak sebagai amalan syirik. Contohnya membakar kemenyan dan menaruh sajian ditempat
yang di anggap keramat.
Metode yang merupakan lanjutan dari
kerja dakwah ayahnya ini menyebabkan sunan muria lebih mengenal tradisi jawa.
Dia juga dikenal sebagai seorang seniman yang melestarikan gamelan dan kesenian
tradisi lainnya. Melalui cara ini sunan Muria mulai sedikit demi sedikit
memasukkan ajaran agama dan syiariat islam. Inilah awal masuknya penyebaran
islam yang dilakukan oleh sunan Muria, dengan begitu rakyat tidak terkejut
dengan ajaran baru islam. Pembenaran tentang ajaran islam diterima rakyat
secara rasional, sebab berjalan di wilayah yang akrab dengan mereka.
Syair-syair jawa diubah liriknya dengan kebajikan-kebajikan Islam. Rakyat
mengenal islam sebagai sesuatu yang lembut. Metode ini masih berlangsung hingga
saat ini dijawa, Nahdlatul Ulama menggunakan dalam menyebarkan syiar dan
memberikan tentang pembenaran ajaran islam kepada rakyat. Begitu dekatnya sunan
Muria dengan rakyatnya hingga luasnya wilayah dakwah merambah sampai daerah
permukiman terpencil. Seperti daerah gunung Muria sendiri sangat terpencil
namun dakwahnya sampai wilayah ke pati, pesisir jawa, selain tentunya kudus.
2.2 Ajaran yang
disebarkan oleh sunan Muria
Jauh sejak zaman
Walisongo, Sunan Muria telah mengajarkan pengikutnya untuk bersama meruwat
bumi. Hampir tak pernah disebut dan memang jarang yang tahu ihwal kontribusi
dakwah Walisongo terhadap pelestarian bumi. Walisongo selama ini lebih banyak
dipahami sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa yang hanya menyampaikan
risalah ketauhidan semata. Jauh di salah satu puncak gunung Muria yang
terpencil, Raden Umar Said (nama asli Sunan Muria) memilih menetap. Di sana, ia
tak hanya menghambakan diri dengan mengajak para penduduk gunung beriman. Lebih
dari itu, juga mengajarkan konsep teologi yang bersifat holistik-integratif.
Mafhum dengan kondisi geografis dan keberlanjutan bumi tempat mereka tinggal,
Sunan Muria mengarahkan energi keimanan pada konsentrasi hajat pelestarian
alam. Tauhid yang diajarkan Sunan Muria menyentuh tiga ranah, mulai dari
dimensi ketuhanan yang eskatologis-transendental, dimensi sosial-ijtima’iyyah
(antroposentrisme),sampaidimensilingkungan (ekosentrisme).Ketiganyakeniscayakan
diferensiasi terhadap cara dakwah Sunan yang lain. Baik ranah ketuhanan, sosial
hingga lingkungan, dapat menyatu dalam satu konsep keimanan. Segenap khazanah
lokal berupa kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun segera
diejawantahkan. Hal ini terlacak dari jejak-jejak peninggalan berupa beberapa
situs yang dikeramatkan. Antara lain; buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air
Gentong yang terdapat di lokasi pemakaman, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati,
serta hutan Jati Keramat. Segenap mitologi situs keramat alami tersebut, hingga
kini dipercaya masyarakat mengandung tuah buah karomah Sunan Muria.
Memaknai Mitos
Pari Joto yakni
sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi perempuan hamil.
Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan tambahnya kebaikan pada si
jabang bayi. Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa yang disebutkan oleh Rasulullah
berupa jintan hitam (HR. Al Bukhori) dan madu lebah (QS. An-Nahl: 68-69). Bagi
Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan keduanya dalam hal kandungan
gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian, pemaknaan ini tak lantas
cenderung parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang manfaat jintan
hitam, informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos Pari Joto,
tak sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga
memuat seruan untuk melestarikannya. Artinya, menjaga keberlangsungan
eksistensi tumbuhan dan hewan bertuah ini sama halnya menjaga manfaat
kebaikannya, sehingga dapat diwarisi umat di hari mendatang.
Mitos Pakis Haji
dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan padi memakna
spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan
Muria. Strategi mengusir tikus dengan media alami berupa kayu ini sama sekali
tak menghendaki pemusnahan hama. Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun
tikus tetap memiliki posisi penting dalam putar rantai makanan, fitrah
interdependensi alam. Tak hanya mempertimbangkan efektifitas menjaga tanaman
belaka, namun selayak mitos Pari Joto, konsepsi pemanfaatan Pakis Haji
ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
Kesalehan
lingkungan dalam ajaran Sunan Muria berikutnya dapat ditemukan pada situs Air
Gentong Keramat di lokasi makam yang juga diyakini menyimpan tuah. Di balik
keramatnya, Air Gentong ini mendedahkan simbol spiritual. Keberkahannya
menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan
memberikan manfaat kecerdasan, merupakan inspirasi spiritual Islam atas benda
suci ini. Ini sekaligus merupakan multifungsi air tersebut sebagai simbol
spiritual, medis dan ilmiah. Meminjam hasil penelitian Masaru Emoto Jepang,
bahwa air dapat mentransformasi segala pesan yang masuk ke dalam dirinya,
sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan manfaatnya. Demikian halnya kasus
Air Gentong Sunan Muria, ketika ia mendapat stimulus yang baik berupa doa,
harapan dan itikad baik dari pemercaya mitos keramatnya, maka air itu akan
mentransformasi diri menjadi kebaikan-kebaikan seperti diharapkan.
Jejak Sunan Muria
yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus (penyu) dan pohon keramat
yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah ratusan tahun sebelumnya
menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara manusia dan alam. Segenap
ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan mengajarkan masyarakat akan
pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama makhluk. Mitos yang berkembang,
Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa Sunan Muria. Sehingga
masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan makhluk yang dipandang
sebagai nenek moyang mereka itu. Hal ini menjadi sarana pembelajaran agar
memperlakukan makhluk lain dengan baik, sama halnya berperilaku terhadap sesama
manusia. Segenap tuntunan ini pun terdapat dalam berbagai riwayat hadits
Rosulullah dan firman Allah dalam Al-Qur’an.
Terakhir, pohon
Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah putri Sunan Muria
bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun terhitung sejak
zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan. Tak pernah sekalipun orang berani
menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab diyakini bahwa, pohon-pohon itu punya
ruh, dan merupakan hal yang tak patut orang merusak dan melukainya. Akhirnya,
hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini
sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi
yang kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.
Wali Lingkungan
Menafsirkan
segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria yang sarat dengan
kesalehan lingkungan. Setidaknya terdapat lima bangunan religius, yakni konsep
Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan, Filanekoreligi, dan
Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian alam semesta. Tauhid
Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan hakikat alam ini
adalah bentuk teofani Tuhan. Alam menjelaskan segala sifat ketuhanan,
sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rizki, dan yang
lain. Karenanya, alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih lingkungan
menerjemahkan prinsip Maqashid
Al Syari’ah (tujuan
ditetapkannya syariat) yang menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis
ekoreligi. Sementara, Tasawuf Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap
lingkungan yang berkembang dari paradigma sufisme.
Istilah filanekoreligi yang tersematkan
dalam ajaran Sunan Muria bermakna membangun keadilan dan kesejahteraan
lingkungan. Ini merupa kedermawanan lingkungan yang pada akhirnya memunculkan
konsekuensi logis; kontribusi positif terhadap eksistensi nilai-nilai
kemanusiaan. Puncak ajaran Sunan Muria adalah Akidah Muttahidah. Yakni memaknai
ibadah tak sebatas dimensi mahdhah, melainkan sampai menyentuh persoalan
lingkungan. Maksudnya, akidah Islam diejawantahkan ke dalam tiga ranah hubungan
sekaligus, yakni antara manusia, Tuhan, dan alam. Terbentuk semacam segi tiga
yang menunjukkan relasi antar ketiganya. Dalam hal ini, Tuhan menjadi titik
paling atas sebagai pusat hubungan. Sementara itu, alam merupakan mitra manusia
dalam melaksanakan ibadah, sekaligus alam sebagai wujud teofani Tuhan yang
dengannya memancar segenap sifat ketuhanan. Demikian, tugas manusia sebagai
seorang khalifah di muka bumi (khalifah fil Ardl), yang di antaranya
adalah mengelola alam, maka termasuk dimaknai juga sebagai ibadah. Perlu
dipahami, khalifah di sini berarti pemimpin, dan bukan penguasa. Artinya, tugas
manusia adalah mengelola alam dengan arif, bukan mengeksploitasinya secara
serampangan.
BAB III
Penutup
3.1 kesimpulan
Ajaran
islam yang diajarkan oleh sunan Muria mengajarkan mengenai kecintaan terhadap
lingkungan dan menyebarkan agama dengan kesenian. Ajarannya ini membuatnya
dicintai oleh rakyatnya. kehidupannya yang sederhana dan membaur dengan dengan
rakyat menjadi kunci dakwahnya yang memiliki wilayah yang sangat luas. Iya
tidak tertarik dengan politik dan kekuasaan yang mungkin pada saat itu bisa dia
raih.
3.2 Saran
Ajaran yang disebarkan
oleh sunan muria saat ini memang masih ada yang mempertahankan namun banyak
sudah bergeser. Seharusnya masyarakat bisa lebih melihat ajaran sunan Muria
sebagai ajaran yang merakyat. Yaitu tidak memaksa ajaran islam ke orang lain
dengan kekerasan.
Daftar
rujukan
Istahiyyah.
2014. Ajaran sunan Muria Meruwat Bumi,
(On-line), (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,52371-lang,id-c,esai-t,Ajaran+Sunan+Muria+Meruwat+Bumi-.phpx), diakses pada 1 nopember 2014.
Sastoro,Eny. 2013. Biografi Sunan Muria - Putra Sunan Kalijaga, (On-line),
http://museumbiografi.blogspot.com/2013/10/biografi-sunan-muria-putra-sunan.html, diakses pada 31 oktober 2014.
Perlu ditampilkan relevansi ajaran, konsep, dan perilaku Sunan Muria dengan petunjuk Al Qur'an dan/ ataupun hadits nabi...
BalasHapus